Sore itu... langit mendung dipadu gerimis menyentakku. Aku bergegas mengambil jemuran. Sesaat aku menengadah ke atas. Menatap langit. Merasakan gerimis menyapa wajahku. Seolah ada gelombang asing merambat di otakku. Menciptakan sensasi ‘cinta’. Ya! Cinta yang tiba-tiba menjamur menghasilkan segaris senyum di bibirku. Damai.
Ya Allah... langit saja bisa membuatku jatuh cinta. Apalagi Engkau Yang Maha Sempurna, bukan? Apakah hatiku terlalu kotor untuk mencintai DIRIMU Yang Maha Suci. Harapanku seperti senandung lagu yang baru saja diperkenalkan oleh temanku... “izinkan aku mencintai-Mu”
Bicara tentang cinta... apa yang kau pahami kawan? Tentu diusia kita hal ini tidak asing lagi.
Terlalu murah rasanya jika hanya disandingkan dengan pesona-pesona yang memikat panca indramu. Ya! Iini tentang rasa... rasa pada hatimu. Seperti puisi sahabatkuku, Karfa
“Jika mencintaimu karena kata, kadang kata ‘kan menjadi dusta
Jika mencintaimu karena rupa, usia ‘kan lunturkan pesona
Jika mencintaimu karena harta, terkadang,,,
ku inginkan cakrawala yang kutahu kau tak kuasa membelinya dengan harta
Jika mencintaimu karena tutur prilakumu, kebaikanmu padaku
Aku tak sanggup membaca rasa pada hati manusia
Karena aku mencintaimu atas cinta yang ditanamkan dalam dada ini Anugerah dari Sang Pemilik Cinta...
Aku merasakan sensasi emosi tersendiri meresapinya. Ini tentang rasa yang diberikan Tuhan sebagai anugerah-Nya kepada kita. Rasa ini tak pantas kiranya kita salahgunakan, bukan?
Tentang cinta... ia adalah rahasia-rahasia perasaan.
Perjalanan cinta seperti jalur-jalur benda langit yang senantiasa kita amati di malam hari. Masing-masing takdir benda langit itu mengantar mereka pada pengembaraan-pengembaraan jauh. Menembus ruang dan waktu, tetapi pasti sampai pada ujung jarak yang sanggup mereka tempuh.
Ujung jarak itu membuat benda langit mau tidak mau harus berhenti. Tidak bisa berjalan lagi. Jika ia memaksakan diri akan ada ketidakseimbangan, kehancuran, dan malapetaka. Benturan antar bintang, meteor dengan planet.
Kadang untuk memaksakan diri supaya yang kau sebut cinta itu terwujud dalam sebuah penyatuan, maka kaki-kaki keseimbangan akan runtuh. Seperti halnya benda langit yang terbakar saat mendekati bumi atau bintang-bintang pijar yang bertumbukan.
Mungkin analogi ini melahirkan pesimistis bagi seseorang yang ambisius. Karena hal ini mengisyaratkan bahwa usaha cinta ada batasnya. Mencintai ada titik komprominya.
Sesuatu yang membuatku terdiam adalah... Yang lebih tinggi dari cinta adalah tanggung jawab, begitu hal yang kupelajari hari ini. Ah.. mungkin terlalu dini mengeksekusi tanggung jawab lebih tinggi daripada cinta, lebih tepatnya... segala sesuatu haruslah dibarengi tanggung jawab termasuk, cinta...
Rasa itu bukan hanya karena alasan yang materialistis bukan? Apakah hanya karena seseorang itu cantik/tampan serta kaum borjuis... lantas kau berkata mencintainya? Lalu jika kau menemukan seseorang yang ‘melebihi’ dari orang tadi, apakah kau juga berkata bahwa kau mencintainya? Begitukah? Lantas apa bedanya dengan heroin dan ekstasi yang membius saraf sehingga menimbulkan kesenangan sesaat? Tidak kawan... kurasa cinta lebih dari itu... di dalamnya ada pondasi ikhlas dan pengorbanan.
Bagiku saat ini... jika berbicara tentang fitrah rasa antara dua insan... maka dia adalah seseorang yang ingin kutemani ketika mengeriput kulitnya, memutih rambutnya, mengabur penglihatannya, menyamar pendengarannya... masih dan akan tetap berpegangan tangan walau kedua mata saling tatap tanpa aksara... seorang teman hidup... teman seperjuangan J
Namun terlalu sempit kiranya jika pengertian cinta hanya mencakup kisah kasih antara dua insan. Kecintaan seseorang juga mencakup pada sesuatu yang abstrak. Ya! Cinta itu begitu abstrak. Seperti ilmu misalnya? Bagi pencinta ilmu...
Seperti cinta Rabiatul Adawiyah pada Tuhan, cinta Imam Abu dawud dan Ibnu Abbas pada ilmu, cinta Kashva pada manuskrip-manuskrip kuno, cinta Astu pada perbintangan dan kitab-kitab, cinta pujangga pada syair-syair, cinta seniman pada dunia seni, cinta kita pada keluarga, teman, dan kerabat, dan cinta-cinta lainnya.
Cinta itu juga berarti... Cinta pada Tuhan. Harusnya rasa ini yang mendominasi... seperti senandung lagu yang dibawakan sebuah grup nasyid, “ CINTA” karena betapapun inilah cinta yang hakiki. Seperti halnya analogi sepotong pakaian. Apakah kau mencintai pakaiannya? (dalam arti ciptaan) atau mencintai orangnya? (yang menciptakan). Sederhananya apakah kau mencintai objek ketimbang subjek itu sendiri. Ahh... analogi ini mungkin kurang tepat. Setidaknya inilah yang bisa ku analogikan untuk saat ini.
Bicara cinta aku teringat puisi Rabiatul Adawiyah
Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu
serta puisi Jalaluddin Rumi
Apapun yang kau dengar dan kau katakan (tentang cinta)
Itu semua hanyalah kulit
Sebab, inti dari cinta
Adalah sebuah rahasia tak terungkapkan
Kebenaran yang sepenuhnya berada dalam hakekat
Tapi orang dungu mencarinya dalam kenampakan
Gunakan kata ‘cinta’ dengan dewasa...
Kawan, harapanku saat ini sederhana saja. Mencintai dengan proporsi yang benar...
Untuk sementara, beginilah pemahamanku. Setidaknya sesuai dengan salah satu kriteria cinta. Mungkin begitu subjektif... mungkin menjelma menjadi sesuatu yang inkonsisten seiring bertabuhnya genderang waktu... Abstrak!
Cinta tak bisa hanya terpaku pada teori. Pada akhirnya hanya pada Sang Pencipta Cintalah semua bermuara.
Jadi, seperti apa eksekusi cinta yang benar?
Kawan... Kita tidak harus sama untuk saling memahami dan mengerti, bukan?
lalu, bagaimana definisi dan persepsimu?
cinta itu ibarat kodok, meloncat-loncat *nyambung mode on*
BalasHapuskodok trus dari smalam... hehehe
BalasHapusada apa dg kodok?? misterus ==a