Ahlan Wa Sahlan

Welcome to Abstract World
Ahlan Wa Sahlan !!!! (^_^)//

Kamis, 16 Februari 2012

Ayah dan Gelas-Gelas Kaca



Assalamualaikum... Hai reader (^_^)/ 
saia balik lagi... kali ini agak lain dari biasanya.. saya posting cerpen lhoo, baru aja selesai nulis. Yah buru-buru juga sih tadi sebelum idenya ngilang. Maklum saia kalo nulis ginian masih mood2an #jangan ditiru ya reader. 
So this is fresh from the oven #cerpen Zah bukan kue... hehe 
monggo dilahap cerpen saia... yah masih jauh dari kata sempurna sih, maklum author  masih sangat-sangat amatir, cerpen ini terinspirasi dari ayah saia... saia persembahkan juga untuk Beliau, walau kayanya sidin gak bakal buka  blog ini.
ok ga basa basi lag dah... 

check this out ! 


==========================================================================

“Zahra ! mau ikut ayah gak hari ini ?” ucap ayahku melongok di pintu kamarku.

“ Kemana yah?” ucapku tanpa menoleh seraya mengamati layar laptop di depanku. 

“ ke apotik di Banjarbaru sebentar” jawab Beliau.

“Zahra lagi mengerjakan tugas kuliah yah... sama  si ade aja yah “ ucapku tetap tanpa menoleh kepada Beliau.

“owh... ya sudah kalo begitu...” dari sudut mataku kulihat ayahku beranjak. 

Ah! Benar saja aku pusing dari tadi mengerjakan tugas kuliah tentang pasar uang. Sambil browsing pun sepertinya tetap saja masih kurang mengerti. Padahal beberapa buku tebal  juga tergeletak di dekatku. Tetap saja aku bingung ! Terlalu global bagi mahasiswi sepertiku yang jarang mengikuti berita-berita seputar bursa efek di televisi.  Sambil menyeruput secangkir jus wortel aku mulai beralih ke jejaring sosial, tempatku menghilangkan sedikit kegalauan. Sambil kutelusuri beranda kutemukan sebuah artikel dari grup Islami.  Jariku pun langsung menyeret kursor mouse untuk membukanya.  

Lemah lembutlah pada gelas-gelas kaca itu...!

Dalam sebuah perjalanan. Ketika itu Rasulullah Saw bersama seorang budak yang biasa dipanggil dengan nama Anjasah. Suara Anjasah yang demikian besar membuat unta yang sedang dituntunnya menjingkrak-jingkrak. Setiap kali Anjasah berkata dengan suara tinggi, maka unta itu bergerak tanpa kontrol karena terkejut. Hal itu membuat para wanita yang sedang berada diatas punggung unta hampir-hampir saja terjatuh.

Melihat yang demikian itu, saking perhatiannya kepada para wanita, Rasulullah Saw segera menegur Anjasah, kemudian memintanya untuk melirihkan suaranya.

"Perlakukanlah gelas-gelas kaca itu dengan lemah lembut, hai Anjasah!!" kata beliau mengingatkan. Dan maksud dari gelas-gelas kaca itu adalah para wanita.

Ungkapan yang begitu indah. Mengagumkan. Sungguh bahasa yang beliau pilih untuk mengilustrasikan karakteristik kaum wanita adalah sangat tepat. Mereka memiliki kelembutan rasa. Selembut belaian angin sepoi-sepoi, bahkan lebih lembut lagi. Mereka mempunyai kehalusan jiwa, sehalus sutera China, bahkan lebih. Hal inilah yang mendorong Rasulullah Saw begitu nyaman menyebut kaum wanita dengan istilah ‘gelas-gelas kaca’.


Aku tertegun membacanya. Tanpa perintah, saraf-saraf sensorikku menjelajahi otakku. Membuka kembali episode-episode kehidupan masa lalu.

Flashback

13 Juni 2008

Lemah lembutlah pada gelas kaca itu !
Ya! Ayahku seperti itu. Laki-laki paling lemah lembut yang ada di hidupku.
  
Hampir dalam setiap keadaan beliau seperti itu terhadap kami dan aku tentunya.  Aku masih duduk di kelas X SMA. Aku belum bisa mengendarai motor . Setiap pergi ke sekolah aku di antar Beliau dan pulang naik taksi hijau di daerah Martapura. Hari ini hari Jumat. Ayah menjemputku. Aku tersenyum, ayahku habis main tennis, itu terlihat dari kaos yang beliau kenakan.  Ayah pasti lelah. Dengan yakinnya aku menawarkan diri untuk membonceng ayah. Aku meyakinkan beliau kalau aku sudah bisa. Bukankah kemaren aku sudah latihan beberapa kali di sekitar komplek?  So far so good 

Tiba di tikungan, aku harus menyeberang untuk sampai ke gang rumah kami. Entah kenapa tanganku seolah bekerja sendiri. Saraf-saraf motorikku bekerja tanpa aba-aba. Tanganku mengangkat gas di saat banyak motor masih berseliweran.  

Aku mendengar bunyi rem berdecit dengan beberapa tubrukan dsertai bunyi botol-botol pecah. Aku merasa seperti terbang tanpa sayap dan kemudian terhempas begitu saja. Brukkk ! badanku beradu dengan aspal. Aku merasa dipapah oleh beberapa warga yang terlihat panik. Aku sendiri seolah mati rasa.  Hatiku bergetar. Rasanya tidak karuan. Takut, gelisah, sedih, bingung, hampa, merasa bersalah, marah pada diri sendiri, shock berat. Tanganku gemetar tangisku pun pecah. Aku penyebab semua ini! Ayahku dengan tertatih-tahih datang dan menanyakan keadaanku. Aku langsung menghambur ke pelukannya.

Ulun yang salah bah....!” suaraku serak terdengar tak jelas karena beradu dengan tangisku. Sayup-sayup ku dengar ambulance. Ada seseorang yang pingsan. Lututku langsung lemas. Seolah aku berdiri mengawang tanpa kaki. Badanku seolah menciut ditelan bumi. Jantungku berdetak tidak karuan.
Kami menuju rumah yang tak jauh dari TKP. Ibu ku kepalang panik. Beliau mengomeliku habis-habisan. Ayahku malah membelaku. Kemudian ayahku menyuruhku masuk ke kamar. Aku membenamkan kepalaku di atas bantal dan kemudian menangis sepuasnya. Detak jantungku masih tak karuan,  tanganku masih gemetar, lututku masih terasa lemas.  Di sela tangisku aku melihat orang-orang berdatangan ke rumah. Aku takut! Sungguh takut ! 

Untungnya semuanya diselesaikan dengan kekeluargaan. Korban yang pingsan pun sudah siuman walau sempat di bawa ke IGD. Namun kerugian dibebankan kepada kami. Aku semakin menciut saat tau kalau ayahku mengaku kalau beliau lah yang mengendarai motornya. Tidak! Itu salahku! Bukan salah ayah!!!  Aku hanya bisa menangis di sudut kamar sambil meremas-remas tanganku yang bergetar hebat. Itu salahku...
Air mataku kering namun aku masih menangis. Rasanya begitu berat. Sungguh berat! Setelah beberapa lama mereka berpamitan. Ayahku ke kamarku. Aku kembali meraung menangis seperti anak kecil dengan suara jelek. Beliau menenangkan aku. Ya! Beliau tidak memarahiku sedikitpun. Berjuta-juta uang ayahku tersedot untuk mengganti kerusakan dan pengobatan. Korban yang tak sengaja kutabrak itu ternyata baru saja menjalani operasi. Dan aku yang memperparah keadaannya! 

“Ini semua sudah takdir,  toh sudah berlalu, terimalah dengan lapang tapi lain kali mesti berhati-hati, alhamdulillah korbannya tidak apa-apa” Ayahku tersenyum seraya terus mengamati lukaku dan menghapus air mataku. Sungguh aku tak dapat menahan haru mendengarnya. Ah! Ayah... Mengapa engkau begitu baik terhadap anak sepertiku? Aku hanya bisa memeluk beliau  seraya menangis. Aku begitu cengeng ayah... aku begitu rapuh...  Dan engkau begitu baik. Maafkan aku ayah.  Ya Allah... apa yang harus kulakukan?

14 Januari 2010 

Lemah lembutlah pada gelas kaca itu !
Ya! Ayahku seperti itu. Laki-laki paling lemah lembut yang ada di hidupku.

Aku sakit. Padahal sebentar lagi diadakan Try Out untuk kelas XII.  Bagaimana ini? Aku masih harus belajar dan ikut les untuk menghadapinya. Tapi sekarang aku malah terbaring di rumah sakit. Setelah periksa di IGD Banjarbaru aku disuruh opname. Aku menatap sendu kamar yang aku tempati sekarang. Ah ayah... bukan kah kamar ini terlalu bagus? kamar biasa saja sudah cukup. Aku tak perlu kamar VIP. Aku tak perlu pelayanan yang lebih. Aku menitikkan air mataku.  Mataku yang sudah layu bertambah bengkak karena menangis.

“Zahra... kalau ada rejeki ayah usahakan yang terbaik buat kamu, dan yang lainnya” begitu kata ayah saat aku memprotes kamar ini yang pasti bertarif mahal. Ah ayah... engkau ayah terbaik di dunia. Maafkan Zahra ayah, Zahra selalu merepotkanmu. 


10 November 2010

Lemah lembutlah pada gelas kaca itu !
Ya! Ayahku seperti itu. Laki-laki paling lemah lembut yang ada di hidupku.

Aku masuk asrama. Tahun ini adalah tahun pertama perkuliahanku. Aku senang kuliah disini. Orangnya agamis dan begitu ramah. Tak ada kampus yang kuinginkan selain disini. Dulu entah kenapa aku sampai bernazar masuk salah satu Institut di Banjarmasin ini. Padahal aku sudah mendaftar SMUT dan memilih prodi Psikologi di Fakultas Kedokteran Unlam.  Sebenarnya tak ada kendala berarti jika aku masuk prodi itu. Masalah finansial tidak memberatkan. Ayah dan Ibuku juga mendukung apapun pilihanku. Dan dengan tekad bulat aku membatalkannya. Memilih bernazar kuliah di kampus ini, yang juga kampus ayah dan Ibuku, Kampus Hijau.  Ayahku begitu senang dengan pilihanku. Setelah mondok waktu SMP dan merasakan suasana sekolah umum di SMA aku kembali ke jalur religius. Yah... jujur aku tidak betah di jalur umum.
Aku kembali drop. Kali ini pun ayah menempatkanku di ruang VIP. Awalnya aku masuk rumah sakit Ratu Zalecha di Martapura tapi karena kamar-kamarnya penuh aku dipindah ke RSUD banjarbaru. Dan disini lah ruanganku. VIP Murai. Ah ayah... tidak apa-apa jika aku rawat inap di kelas 2 atau kelas 1. Tidak perlulah ayah merogoh kocek dalam-dalam untukku. 

“Berhentilah berkata seperti itu Zahra, izinkan ayah melakukan yang terbaik semampu ayah untuk kalian”   Kata-kata ayah masih terngiang di telingaku. Sambil kupejamkan mata dengan rasa sakit yang masih menjamahi tubuhku aku bersyukur pada Allah. Begitu lembutnya Allah memperlakukanku dengan takdir-Nya. Takdir memiliki seorang ayah terbaik. 

Aku drop di bulan Ramadhan tahun ini. Aku kembali masuk rumah sakit. Dan ayahku menjudge kalau asrama lah yang membuatku kelelahan hingga drop seperti ini. Ah ayah... bukankah dulu juga aku masuk asrama? Dan aku baik-baik saja selama 3 tahun itu? 

Ayahku menyuruhku keluar asrama.  Awalnya aku bersikukuh, aku tak apa-apa masuk asrama tapi dari awal Beliau tidak setuju.  Keputusan ayah tak dapat kutolak. Aku dan ayah akhirnya mengurus pemberhentianku di asrama.  Ayah oh ayah... inikah rencanamu? Aku tinggal di rumah sederhana yang memang dibangun ayah dengan niatan memudahkan anak-anaknya untuk sekolah di Banjarmasin ini. Rumah sederhana dengan perabotan yang lengkap. Tak tanggung tanggung ayah menyediakan kulkas walau itu adalah kulkas bekas, ada Televisi 14 inch, pendingin ruangan semacam kipas angin, DVD,  dispenser, laptop, printer, Stereo audio system, rice cooker, bahkan mesin cuci. Tak tanggung-tanggung juga 2 buah motor untukku dan adikku.  Bahkan beliau akan membelikan kompor gas jika aku tidak menolaknya. Padahal saat itu ayahku telah pindah ke daerah Tanjung demi pekerjaannya. Dan Ibuku masih menetap di Martapura. Aku dan Adikku di Banjarmasin. Bukankah Biaya dapur kami sudah cukup banyak?  Bukannya bermaksud menolak apalagi tidak bersyukur. Aku hanya tak ingin merepotkan.   

Ayahku tak perhitungan. Beliau memberikan yang terbaik demi kami. Diam-diam beliau juga menjadi penyumbang dana di panti asuhan. Ayah, tak pernah merasa direpotkan. Perilaku tulus memancar dari kesungguhan hati Beliau. Ya! Demi kami. Dan sekarang apa yang bisa kulakukan untuk Beliau?


27 Januari 2011

Lemah lembutlah pada gelas kaca itu !
Ya! Ayahku seperti itu. Laki-laki paling lemah lembut yang ada di hidupku.

Alhamdulillah aku mendapatan beasiswa berprestasi dari pihak kampus.  Aku sungguh senang bukan kepalang. Niat awalku adalah membelikan ayah kitab syarah hadits yang memang beliau inginkan. Ayahku bisa disebut seorang book colector. Entah itu kitab kuning, terjemahan, dan buku-buku tentang agama dan umum.  Aku kadang sampai melongo melihat ayah dengan santai mengeluarkan uang dalam jumlah jutaan untuk membeli kitab terjemahan atau tafsir. Dan mungkin genetik ini yang menurun kepadaku. Bahkan kadang kami mesti diam-diam membeli banyak buku, karena kalau sampai Ibu tau beliau akan berkata

“beli buku lagi? Bukannya buku yang di rak belum selesai dibaca? Mubazir itu namanya” 

“Membeli buku tidak ada salahnya, kalau tidak sempat membaca insya Allah akan berguna buat anak cucu kita” ucap ayah sambil tersenyum dan mengerling ke arahku.   Aku hanya tersenyum dan sesekali merayu Ibuku agar jangan ngambek. 

Kemaren kami sempat jalan-jalan di pertokoan buku di Martapura. Lebih tepatnya toko kitab-kitab. Ayahku sangat menginginkan satu set kitab, harganya 1,2 juta. Aku berniat membelikan ayah kitab itu walau itu artinya menguras habis uang beasiswaku. Tapi inilah aku yang berpikiran pendek untuk menyenangkan ayah.  Kuutarakan niatku pada ayah.

“Zahra, itu uangmu... simpanlah buat keperluanmu, jangan cemas dengan kebutuhan ayah” ucap beliau sambil tersenyum. Bagaimana aku tidak terharu mendengarnya? Oh ayah mengapa kau tolak niat baikku? Demi aku? Apalagi yang bisa kulakukan ayah?

Padahal ayahku dulunya adalah pemuda pekerja keras. Mahasiswa yang bekerja sambilan untuk melanjutkan kuliahnya di jurusan Tafsir Hadits. Ayahku pernah jadi tukang ojek, pernah jualan ikan, bahkan pernah jaga malam. Aku diam-diam menyembunyikan air mataku saat beliau menceritakannya. Dengan suara bergetar aku berkata kalau ayah hebat. Dan kemudian berlari ke kamar menyeka air mata. Jika dibandingkan dengan aku,  aku seakan seperti parasit yang menggerogoti usaha ayah.  Ayah tak pernah menuntutku untuk bekerja menjadi direktur perusahaan atau menjadi pejabat atau sekedar menjadi PNS. Ayah hanya berpesan
“Zahra... kuliahlah untuk menuntut ilmu, menuntut ilmu karena Allah, bukan untuk mencari pekerjaan karena demi Allah, rejeki kita tak akan salah alamat” Subhanallah... betapa menenangkannya kata-kata ayah.
Beliau ayahku. Lelaki paling lemah lembut yang aku kenal. Beliau selalu memeberikan kami siraman rohani. Beliau selalu mengingatkan kami. Beliau selalu menggelar sajadah lebih awal di kala magrib dan mengumandangkan adzan supaya kami menjadi makmumnya. Beliau selalu ke mesjid di subuh buta, saat aku kadang masih terlelap. Aku ingat perkataan ayah, “lelaki yang selalu memelihara salat berjamaah adalah muslim sejati , dan izinkan ayah menjadi muslim sejati dan imam yang baik untuk kalian“. Siapa yang tidak terharu mendengarnya?  Beliau ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau selalu berkata ‘tolong’ sebelum menyuruh kami. Beliau tak pernah menyuruhku dalam hal diluar kemampuanku. Pernah aku ingin mencoba mengangkat galon, beliau melarangku. Beliau tak pernah marah dan membentakku kecuali hanya berupa teguran lembut yang anehnya langsung menusuk relung hatiku dan membulatkan azamku untuk lebih baik lagi kelak. Ayahku adalah ayah yang selalu berhati-hati dengan hati orang-orang di sekitarnya. 

 Oh ayah...  bagaimana pun aku melukiskan kebaikanmu, tak akan pernah habis kertas ini. Tak akan pernah sesuai dengan yang sesungguhnya.  Karena sungguh engkau ayah terbaikku. Aku sungguh bersyukur atas anugerah ini. Kami dididik dengan begitu lembut sehingga kami paham arti kebaikan. Hati kami lebih peka karena bimbingan ayah juga yang begitu lembut. 

Oh ayah harus bagaimana aku membalas jasamu? Aku belum sanggup kalau hanya dengan finansial. Aku merasa belum cukup dengan hanya mendoakanmu dan Ibu di setiap solatku. Sungguh ayah aku benar-benar ingin membahagiakanmu.  
End of Flashback
  

Aku tak peduli lagi sesembab apa mataku. Sungguh mengingat jasa-jasa ayah saja sudah membuatku haru. Ayah yang selalu mengajarkanku untuk selalu berusaha mencintai-Nya. Bukankah membahagiakan ayah juga termasuk upaya untuk mencintai-Nya? Upaya bersyukur ? Ya Allah... aku ingin pantas menjadi anak ayah sebaik beliau. Sungguh aku memohon kekuatan pada-Mu. 

Ya... aku dan yang lain adalah gelas-gelas kaca itu! Tak pernah ayah menghempas kami, apalagi membanting dan membuat kami pecah, ayah selalu membersihkannya apabila berdebu, selalu menghargai dan membuat iaistimewa. Sungguh ayah! Engkau lebih istimewa.

“Zahra... sini, Nak. Ayah bawa oleh-oleh” terdengar panggilan ayah dari ruang keluarga. Kuseka air mataku. 

“Iya yah...” aku menyahut sambil bercermin melihat mataku. Memastikan agar mataku tidak terlihat sembab.  Aku tersenyum melihat adikku yang langsung memakan roti Az-Zahra yang memang makanan favorit kami.

“terima kasih ayah...” ucapku sambil memakan roti yang berbalut cream caramel itu. Ya Allah, aku tidak ingin manja ! sungguh aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku.. semampuku. 

Air mataku kembali menggenang. Aku mengalihkan pandangan supaya tidak dilihat siapapun. Ah.. Zahra cengeng!  

Ibu... beruntungnya dirimu mendapatkan salah satu lelaki terbaik seperti ayah... 




==========================================================================


Tuhanku,
Engkau maha pengampun, Engkau maha penyayang.
Ampunilah dosa-dosa ibu bapaku, bersihkan jiwa mereka seperti air bening yang suci.
Bariskan mereka bersama mereka yang engkau sayangi.
Sesungguhnya tiada yang lain bisaku pinta selain pada-Mu.

Amin ya Rabbil Alamin....

aku masih belum dapat persembahkan apapun untukmu. Untuk membuatmu bahagia, untuk mengurangi lelahmu, untuk ukir senyum di wajahmu. Tapi tak sedikit pun aku menyerah. Saksikanlah bahwa setiap langkahku, semuanya adalah upayaku untuk menjadi manusia yang lebih baik dan terbaik. Untuk ayah yang kucinta, aku telah beranjak dewasa. And I will say to you, “I love you the way you are.”
Hopefully you’ll be always in Allah’s protection.
 
makasih lho sudah baca sampai sini... 
author beri hadiah dehh... hadiahnya senyum aja ya.. hehe :) #pletakk
gimana tanggapannya reader?  bingung juga nih cerpen dimana konfliknya. hehe 
lebih ke dialog hati sih sebenarnya. 

ok, saia siap menampung kritiknya ^_^ 


terakhir... semoga bacaan yang saia suguhkan ala kadarnya ini bermanfaat buat antum... #ceileh
wassalam (^0^)/


6 komentar:

  1. sangat bermanfaat... dan bercerita ala kadarnya..
    tapi tokoh ayah tak bisa tergantikan...

    good note...

    BalasHapus
  2. baru tau namamu zahra....hmmmm kayaknya bukan cerpen deh, tapi curhat....hihi Upppssss gak bleh ktawa. *pgen ikutan nangis* gak ah. hmmm critanya bagus....aplgi kalo diambil dri khidupan nyata, seremmmmmm.......

    BalasHapus
  3. eh? siapa zahra ka?
    nama uln lain zahra :D

    hehe... tebak sorang aja.
    yg jelas sedikit banyak.a fiktif

    wehh... knpa seremm?

    BalasHapus
  4. seremmmm cerpennya,,,,,menghanyutkan..hihi

    BalasHapus
  5. menghanyutkan maka seram lah ka... ada2 ja. hhe :D

    BalasHapus