BAB I
PENDAHULUAN
by Noor Hafizah U a.k.a Mrs.J-Akanishi a.k.a Cahaya Abstrak
1.1 Latar Belakang
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan, perumusannya sangat sulit dilaksanakan, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seorang filsuf yang otentik. Setiap orang yang ingin mengejar pengertian hidup dan kehidupan itu, maka itu berarti bahwa ia masih di atas jalan menjadi seorang filsuf, untuk lebih memanusiakan dirinya. Sebab berfilsafat tiada lain adalah hidup berfikir dengan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan kehidupan itu.
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya menemukan tiga bentuk eksistensi itu yaitu agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Filsafat sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan justru filsafatlah yang jadi motor penggerakkehidupan sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektifdalam bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Di antara seluruh filasuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun modern, Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh paling berpengaruh. Dengan demikian, dalam sejarah tentang pemikiran filsafat memang sangatlah perlu membicarakan pemikiran dari Plato. Tulisan ini berusaha untuk memberikan gambaran singkat tentang pemikiran Plato, khususnya ketika membicarakan tentang realitas yang sesungguhnya.
.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah filsafat umum
2. Untuk mengetahui tentang filsafat pemikiran Plato
3. Untuk menambah wawasan dalam kajian filsafat umum khususnya pemikiran Plato
BAB II
PEMBAHASAN
PLATO
2.1 Riwayat Hidup
Plato lahir dalam suatu keluarga bangsawan aristokrat Athena yang turun-temurun memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan politik di Athena. Ayahnya bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus, raja terakhir Athena yang hidup sekitar 1068 SM yang sangat dikagumi rakyatnya karena kecakapan dan kebijaksanaannya dalam memerintah Athena. Ibunya bernama Periktione keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung Athena.[1]
Ketika Plato masih kecil, ayahnya meninggal. Ibunya kemudian menikah kembali dengan paman Plato yang bernama Pyrilampes. Paman yang menjadi ayah tiri Plato itu adalah seorang tokoh yang disegani di Athena karena ia adalah seorang politikus yang dekat dengan Pericles, pemimpin dan negarawan besar Athena yang baru saja meninggal. Plato dibesarkan dan dididik oleh ayah tirinya.
Sejak masa mudanya, ia bergaul dengan tokoh-tokoh yang memainkan peranan penting dalam politik Athena. Saudara Ibunya Kharmides dan Kritias, termasuk partai aristokrat dan mereka adalah anggota panitia ”30 Tyranoi” yang delapan bulan lamanya memerintah Athena dengan kejam. Mula-mula mereka tergolong sahabat Socrates, guru Plato sekaligus orang yang dikaguminya.Tetapi kemudian mereka menempuh jalan yang menyimpang dari cita-cita Socrates. [2]
Awalnya Plato diajak bergabung dalam dunia politik 30 Tyranoi tersebut. Tetapi Plato ingin menunggu hasil politik mereka terlebih dahulu. Plato terkejut melihat bahwa mereka ingin mempergunakan Socrates untuk maksud jahat, yaitu menangkap dan menghukum seseorang yang tak bersalah supaya harta miliknya dapat disita. Tetapi situasi memburuk lagi, ketika demokrasi dipulihkan, karena seorang pemimpin demokrasi mengemukakan tuduhan terhadap Socrates yang mengakibatkan kematiannya.
Dalam surat yang sama Plato menceritakan pula bahwa pengalaman pahit ini sudah memadamkan ambisi politiknya. Keinsafan timbul padanya bahwa semua rezim politik tidak beres dan ia mendapat keyakinan bahwa satu-satunya pemecahan ialah mempercayakan kuasa negara kepada filsuf-filsuf yang sejati.
Sesudah Socrates meninggal, Plato bersama dengan teman-teman lain untuk beberapa waktu menetap di Megara, pada murid Socrates yang bernama Eukleides. Tetapi kemudian ia kembali lagi ke Athena. Pada usia 40 tahun, Plato mengunjungi Italia dan Sisilia. Barangkali perjalanan ini diadakan dengan maksud berkenalan dengan mazhab Pythagorean.
Tidak lama sesudah kembali dari Italia, Plato mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama ’Akademia’. Sekolah ini direncanakan sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Plato ingin merealisasikan cita-citanya, yaitu memberikan pendidikan intensif dalam bidang il u pengetahuan dan filsafat kepada orang-orang muda yang akan menjadi pemimpin-pemimpin politik nanti. Ia mempelopori universitas-universitas Abad Pertengahan dan Modern. Murid-murid Plato memberi sumbangan besar dalam perkemangan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Plato membuat berbagai karya-karya tulis dan pemikirannya tentang filsafat. Plato kemudian meninggal di Athena pada usia delapan puluh tahun dan selama hidupnya ia tidak pernah menikah.[3]
2.2 Karya-Karya Plato
1. Otentisitas
Tentang karya-karya yang otentisitasnya masih merupakan objek diskusi, Taylor cenderung berfikir bahwa beberapa diantaranyadan barangkali semua betul-betul buah pena Plato. Tentang Hippias dan Menexinos misalnya kita mempunyai data-data yang menyatakan bahwa Aristoteles sudah mengandaikan kedua dialog ini ditulis oleh Plato.
Diskusi mengenai otentisitas ketiga belas surat yang dikenakan kepada Plato, tidak boleh diremehkan karena surat-surat itu merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato. Dan justru surat-surat ini memuat informasi terbanyak mengenai Plato.[4]
2. Kronologi
Bagaimana urutan kronologis karya-karya Palato? Mulai dari Friedrich S (1768-1834), banyak sarjana telah mengupayakan suatu pemecahan mengenai masalah kronologi ini. Berbagai metodetelah dicoba yang memberikan hasil-hasil yang berlainan. Pada pertengahan abad ke-19, sarjana Inggris L. Campbell mengusulkan suatu metode yang membawa hasil , metode ini disempurnakan lagi oleh beberapa sarjana Jerman dengan menyelidiki secara terperinci gaya bahasa Plato.
Beberapa data mengizinkan kita menarik kesimpulan tentang salah satu dialog, misalnya kita tahu bahwa Theaitetos harus ditempatkan tidak lama sesudah tahun 369. Dengan mempergunakan semua data itu, kita dapat membagikan dialog-dialog Plato atas tiga periode, yaitu:
- Apologia, Kriton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias, Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion. (Beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Socrates, tetapi kebanyakan berfikir bahwa dialog pertama tidak lama ditulis sesudah kematian Socrates)
- Politea, Phaidros, Parmenides, Theaitetos. (ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sisilia pada tahun 367)
- Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi. (dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan kesulitan-kesulitan politik di Sisilia sudah selesai)
Dalam tahun-tahun terakhir ini karangan Plato juga diselidiki dengan menggunakan komputer. Terutama Prof. L. Brandwood dari University of Manchester (Inggris) sangat giat dalam bidang ini. Hasil definitif belum diketahui. Tetapi sudah nyata bahwa diskusi mengenai otentisistas Surat VII dihidupkan kembali berdasarkan penyelidikan baru ini.[5]
Banyak sekali karyanya yang masih utuh lengkap.Pada umumnya tulisannya disusun dalam bentuk dialog. Barangkali karena pengaruh Socrates, yangkelihatannya memegang peranan pentingdalam karya-karyanya. Begitu penting tempat yang diberikan kepada Socrates (serng dijadikan tokoh utama), sehingga karya-karya Plato itu dapat dipandang sebagai monumen bagi Socrates.
Dari segala karyanya dapat diketahui bahwa Plato kenal para filsuf yang mendahuluinya. Seperti Herakleitos, Pythagoras, para filsuf Elea, terlebih para kaum sofis.
Perbedaan antara Socrates dan Plato adalah bahwa Socrates mengusahakan adanya definisi tentang hal yang bersifat umum guna menentukan hakikat atau esensi segala sesuatu, karena ia tidak puas dengan mengetahui hanya tindakan-tindakan satu persatu saja. Sedang Plato meneruskan usaha itu secara lebih maju lagi dengan mengemukakan bahwa hakekat atau esensi segala sesuatu bukan hanya sebutan saja, tetapi memiliki kenyataan, yang lepas daripada sesuatu yang berada secara konkrit, yang disebut idea. Idea-idea itu nyata adanya, di dalam dunia idea.[6]
2.3 Sifat-Sifat Khusus Filsafat Plato
1. Bersifat Sokratik
Keyakinan Plato bahwa filsuf harus dijadikan sebagai penguasa negara, boleh dipandang sebagai buah hasil refleksi Plato atas kematian Socrates, gurunya tercinta. Refleksi atas kematian Socrates selanjutnya menjuruskan seluruh pemikiran dan keaktifan Plato sampai pada masa tuanya.
2. Filsafat sebagai Dialog
Semua karya yang ditulis Plato merupakan dialog-dialog, kecuali Surat-surat dan Apologia. Dalam karangan terakhir, Socrates membela diri di hadapan hakim-hakimnya dan semua warga negara Athena. Sekalipun hanya Socrates yang berbicara disini (monolog) namun suasana dialognya tetap ada.
Plato adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog sebagai bentuk sastra untuk mengekspresikan pemikiran-pemikirannya. Plato menggemari dialog sebagai bentuk sastra karena mempunyai hubungan erat dengan ’sokratik’ seperti yang telah dijelaskan di atas. Plato memilih dialog dalam bentuk sastra justru karena Socrates memainkan peranan sentral dalam pemikirannya. Ia juga berkeyakinan bahwa filsafat menurut intinya tidak lain daripada suatu dialog. Kata philo-sophia berasal dari kalangan Plato (dan Socrates). Berfilsafat berarti mencari kebenaran atau kebijaksanaan , dan dapat dimengerti bahwa mencari suatu kebenaran itu sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam bentuk dialog.[7]
3. Mite Dalam Dialog-dialog Plato
Plato berpendapat bahwa mite (mythos) tidak bertentangan mutlak dengan rasio. Ada juga mite-mite yang mempunyai unsur-unsur kebenaran dan karena itu dapat digunakan dalam uraian filosofis. Plato mempergunakan seluruh bakatnya sebagai sastrawan dalam menciptakan mite yang memikat hati karena gaya puitisnya.[8]
Mite Plato yang termashur tentang penunggu-penunggu gua yang termuat dalam dialog Politeia (Manusia dapat dibandingkan-demikian katanya-) .
2.4 Ajaran-Ajaran Plato
Plato membedakan filsafat atas tiga bagian sebagai berikut:
- Dialektika: Tentang idea-idea atau pengertian-pengertian umum
- Fisika: tentang dunia materiil
- Etika: tentang kebaikan.[9]
1). Ajaran Tentang Idea-idea
Ajaran tentang idea-idea merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Baginya, Idea merupakan sesuatu yang objektif. Ada idea-idea terlepas dari subjek-subjek yang berfikir. Idea-idea tidak diciptakan oleh pemikiran kita. Idea tidak bergantung pada pemikiran, sebaliknya pemikiran tergantung pada idea-idea.Justru karena ada idea-idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepadaidea-idea itu.
Plato meneruskan usaha Socrates (menentukan hakekat atau esensi sesuatu) dengan melangkah lebih jauh lagi. Menurutnya, esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan konkrit. Idea keadilan, Idea keberanian, dan idea lain memang ada.
Menurut Plato, ada dua macam dunia, yaitu dunia ini yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada pancaindera. Pada taraf ini, harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Dunia yang kedua yaitu dunia idea, dunia yang terdiri dari idea-idea, dimana tiada perubahan, tiada kejamakan (bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu) dan beraifat kekal.
Hubungan antara kedua dunia itu adalah bahwa idea-idea dari dunia atas itu hadir dalam benda yang konkrit (seperti idea manusia berada pada tiap manusia, dan seterusnya) dan bahwa sebaliknya benda-benda itu berpartisipasi dengan idea-ideanya, artinya mengambil bagian dari idea-ideanya.
Anggapan Plato tentang dua dunia menjuruskan juga pendiriannya tentang ’pengenalan’. Menurut Plato ada dua jenis pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan tentang idea-idea. Itulah pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Rasio adalah alat untuk mencapai pengenalan. Dan ilmu pengetahuan adalah lapangan istimewa dimana pengenalan itu dipraktekkan. Dengan menerima pengenalan yang bersifat teguh, jelas, dan tidak berubah, Plato serentak juga menolakrelativisme kaum Sofis. Bagi Protagoras dan pengikutnya manusia adalah ukuran dalam bidang pengenalan, sedangkan bagi Plato, ukuran itu adalah idea-idea.Berdasarkan idea-idea itu menjadi mungkin kebenaran yang mutlak.
Pengenalan yang kedua adalah pengenalan tentang benda-benda jasmani yang dicapai dengan pancaindera. Plato menamakannya ’doxa’ (opinion atau pendapat). Dengan demikian, Plato dapat mendamaikan ajaran Herakleitos dan Parmenides. Herakleitos berpendapat bahwa semuanya senantiasa dalam perubahan sedang pendapat Parmendeis yang berbanding terbalik dengan Heraklietos.
Dalam Politeia, ia mengatakan bahwa antara idea-idea terdapat suatu orde atau hirarki. Seluruh hirarki itu memuncak dengan Idea ’yang baik’. Itulah idea tertinggi yang menyoroti semua idea lain.
2). Ajaran tentang Jiwa
Plato menganggap jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh Socrates, tetapi juga oleh Orfisme dan mazhab Pythagorian. Plato berkeyakinan teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajarannya tentang idea-idea. Salah satu argumen penting adalah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea. Jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada idea-idea.
Jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibedakan dan dipisahkan. Jiwa berada sendiri. Bagiannya (atau fungsinya) ada tiga yaitu,
- bagian rasional yang dihubungkan dengan kebijaksanaan
- bagian kehendak atau keberanian yang dihubungkan dengan kegagahan
- bagian keinginan atau nafsu yang dihubungkan dengan pengendalian diri
Disamping itu ada lagi keadilan yang tugasnya ialah keseimbangan antara ketiga bagian jiwa.
Dalam Timaios, Plato menghidangkan kosmologinya. Disini ia membandingkan jagad raya sebagai makrocosmos dan manusia sebagai microcosmos.Dengan itu ia mengambil alih suatu prinsip yang sudah tertanam kuat dalam tradisi Yunani sejak Anaximenes. Seperti manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, demikianpun dunia merupakan suatu makhluk hidup yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa dunia diciptakan terlebih dahulu daripada jiwa-jiwa manusia.
3). Ajaran Tentang Etika
Bagi Plato, tujuan hidup manusia ialah kehidupan yang senang dan bahagia. Manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Menurutnya, kesenangan dan kebahagiaan hidup itu bukanlah pemuasan hawa nafsu selama hidup di dunia inderawi. Plato konsekuen dengan ajarannya tentang dua dunia. Karena itu, kesenangan dan kebahagiaan hidup haruslah dilihat dari hubungan kedua dunia itu.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dunia yang sesungguhnya bagi Plato ialah dunia ide. Sedangkan segala sesuatu yang ada di dunia inderawi hanyalah merupakan realitas bayangan. Selama manusia berada di dunia inderawi, ia senantiasa rindu untuk naik ke atas, ke dunia ide. Maka selama ia hidup, ia harus memiliki pengetahuan yang disempurnakan oleh pengertian yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia harus mengupayakan semaksimal mungkin untuk meraih pengetahuan yang benar, karena hanya orang yang memiliki pengetahuan yang benar yang disebut bijaksana dan berbudi baik. Pemahaman lewat pengetahuan yang benar itu akan menuntun mereka yang bijaksana dan berbudi baik sampai kepada pengenalan akan ide-ide yang merupakan kebenaran sejati. Mereka akan senantiasa berupaya untuk menghadirkan dunia ide dengan ide tertingginya yaitu ide kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah dunia inderawi.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa etika Plato adalah etika yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan pengetahuan hanya mungkin diraih dan dimiliki lewat dan oleh akal budi, maka itulah sebabnya etika Plato disebut dengan etika rasional.[10]
4) Ajaran Tentang Negara
Filsafat Plato memuncak dalam uraian-uraiannya mengenai negara yang dilatar belakangi dari pengalaman yang pahit dalam politik Athena. Menurut Plato ada hubungan erat antara ajarannya tentang etika dan teorinya tentang negara. Hidup yang baik menuntut juga negara yang baik.
Selain Politea dan Nomoi ada karya ketiga lagi, dimana Plato membicarakan persoalan-persoalan yang bertalian dengan negara. Yaitu dialog yang berjudul Politikos. Dialog ini terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Pokok-pokok yang diselidiki di dalamnya adalah ’keadilan’.
Plato menunjukkan kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial untuk memenuhi kebutuhannya sehingga diperlukan adanya ’spesialisasi’ (pembagian bidang masing-masing). Secara konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya segolongan orang saja harus ditugaskan melakukan perang untuk keamanan.
Menurut Plato, negara yang ideal terdiri dari tiga golongan:
- golongan pertama, penjaga-penjaga yang sebenarnya atau filsuf-filsuf.
- golongan kedua, pembantu-pembantu atau prajurit-prajurit, mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya warga negara tunduk pada filsuf-filsuf.
- golongan ketiga terdiri dari petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis.
Keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan dan setiap warga negara untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Sebagaimana dalam jiwa, keadilan mengakibatkan bahwa ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang dan selaras.
Plato berpendapat bahwa dalam negara dimana terdapat Undang-Undang Dasar, bentuk negara yang paling baik adalah Monarki, bentuk negara yang kurang baik adalah aristokrasi, dan bentuk negara yang paling buruk adalah demokrasi. Tetapi jika tidak ada Undang-Undang dasar harus dikatakan sebaliknya. Maksudnya adalah bahwa dalam negara dimana tidak ada undang-undang, demokrasi itu dapat menghindarkan adanya kekuasaan negara yang disalahgunakan.[11]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Plato merupakan salah satu tokoh filsafat (filsuf) yang sangat berpengaruh. Hasil pemikirannya memberi peran yang sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga sekarang. Ajaran-ajaran Plato antara lain mengenai idea, jiwa, etika, negara, dan lain-lain. Plato adalah murid Socrates dan juga guru dari Aristoteles yang mengajarkan tentang idea yang bersifat objektif, dimana idea kebaikan dan kebajikan adalah idea yang tertinggi.
Puncak karya filsafatnya adalah mengenai ajarannya tentang negara. Secara umum ajarannya tentang negara yang ideal terdiri dari tiga golongan yaitu:
- Golongan yang tertinggi, yang terdiri dari orang-orang yang memerintah yang disebut penjaga yang sebaiknya terdiri dari orang bijak (filsuf). Kebajikan golongan ini adalah kebijaksanaan.
- Golongan pembantu, yaitu para prajurit yang bertujuan menjaga keamanan dan menjamin ketaatan warga negara untuk taat kepada para pemimpin (penjaga). Kebajikan mereka adalah keberanian.
- Golongan terendah, yang terdiri dari rakyat biasa, para petani dan tukang serta para pedagang yang harus menanggung hidup ekonomi negara. Kebajikan mereka adalah pengendalian diri.
DAFTAR PUSTAKA
- Bertens K, Prof, 1995, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius: Yogyakarta.
- Bertens K, Prof, 1978, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius: Jakarta.
- Hadiwijono Harun Dr, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat1, Kanisius: Yogyakarta.
- Rapar J.H, Dr, 1991, Filsafat Politik Plato, Rajawali Pers: Jakarta.
- Salam Burhanuddin, 1995, Pengantar Filsafat, Bumi Aksara: Jakarta.
- Sumobroto Sugihardjo, Dr & Budiawan, 1989, Sejarah Peradaban Barat Klasik dari Prasejarah hingga Runtuhnya Romawi, Liberty: Yogyakarta.
[1] Dr. J. H. Rapar Th.D, Ph.D, Filsafat Polotik Plato, (Jakarta: Rajawali Pers), hal 41
[2] Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Jakarta: Kanisius), hal 94
[4] Dr. K. Bertens, sejarah Filsafat Yunani, hal : 98.
[5] Ibid, hal 99
[6] Dr. Harun Hadiwijono, sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius), hal 40-41
[7] Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal 102
[8] Ibid, hal 103
[9] Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara), hal 125
[10] Dr. J. H. Rapar, Th.D, Ph.D, Filsafat Politik Plato, hal 54-55
[11] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar