Ahlan Wa Sahlan

Welcome to Abstract World
Ahlan Wa Sahlan !!!! (^_^)//

Kamis, 29 September 2011

Puisi Sufi


DALAM sebuah puisi sufinya bertajuk “Syahadat Kita”, penyair klasik Persia terkemuka Jalaluddin Rumi mengajak para pembaca mengernyitkan dahi sejenak. Rumi menggelitik kesadaran religi kita: Dia berkata Tiada tuhan, lalu dia berkata kecuali Tuhan. Dari Tiada menjadi kecuali Tuhan maka menjelmalah Keesaan.
Dengan nukilan goresan pena itu, sesungguhnya Rumi menyingkap dan mengungkap situasi kepenyairannya sendiri. Tepat sekali bila pembaca menebak-nebak, disamping terkenal sebagai penyair, ia memang seorang ulama besar (mullah). Nama lengkapnya Jalaluddin Rumi ialah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri. Lahir pada 30 September 1207 Masehi di Balkh (kini terletak di perbatasan Afganistan) dan meninggal pada 17 Desember 1273 Masehi di Konya (wilayah Turki, Asia).

Bagi pembaca tanah air, buku kumpulan puisi Rumi yang sangat terkenal yakni Masnawi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Pada bagian pendahuluan bukunya itu, Jalaluddin Rumi mengatakan:
Aku tidak menyanyikan Masnawi agar orang membawanya dan mengulang-ulangnya pula, akan tetapi agar orang meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Masnawi adalah tangga pendakian menuju kebenaran. Jangan engkau pikul tangga itu di pundakmu sambil berjalan dari satu kota ke kota lain.

Puasa Membakar Hijab
Rasa manis yang tersembunyi,
Ditemukan di dalam perut yang kosong ini!
Ketika perut kecapi telah terisi,
ia tidak dapat berdendang,
Baik dengan nada rendah ataupun tinggi.
Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa,
Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu.
Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab.
Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu.

Disebabkan Ridha-Nya
Jika saja bukan karena keridhaan-Mu,
Apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang seperti debu ini
dengan Cinta-Mu?

Letak Kebenaran
Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat,
Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan.

Rahasia yang Tak Terungkap
Apapun yang kau dengar dan katakan (tentang Cinta),
Itu semua hanyalah kulit.
Sebab, inti dari Cinta adalah sebuah
rahasia yang tak terungkapkan.

Pernyataan Cinta
Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu.
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu,
Bagai unta memahah biak makanannya,
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara,
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata.
Aku bagai benih di bawah tanah,
Aku menanti tanda musim semi.
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi,
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi.

Hati Bersih Melihat Tuhan
Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat
dalam persemayaman hatinya.
Dan penglihatan itu bergantung pada seberapakah
ia menggosok hati tersebut.
Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap,
maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat
semakin nyata baginya.

Kesucian Hati
Di manapun, jalan untuk mencapai kesucian hati
ialah melalui kerendahan hati.
Maka dia akan sampai pada jawaban “Ya” dalam pertanyaan
Bukankah Aku Tuhanmu?

Memahami Makna
Seperti bentuk dalam sebuah cermin, kuikuti Wajah itu.
Tuhan menampakkan dan menyembunyikan sifat-sifat-Nya.
Tatkala Tuhan tertawa, maka akupun tertawa.
Dan manakala Tuhan gelisah, maka gelisahlah aku.
Maka katakana tentang Diri-Mu, ya Tuhan.
Agar segala makna terpahami, sebab mutiara-mutiara
makna yang telah aku rentangkan di atas kalung pembicaraan
berasal dari Lautan-Mu.

Tuhan Hadir dalam Tiap Gerak
Tuhan berada dimana-mana.
Ia juga hadir dalam tiap gerak.
Namun Tuhan tidak bisa ditunjuk dengan ini dan itu.
Sebab wajah-Nya terpantul dalam keseluruhan ruang.
Walaupun sebenarnya Tuhan itu mengatasi ruang.

Lihatlah yang Terdalam
Jangan kau seperti iblis,
Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam.
Lihatlah di balik lumpur,
Beratus-ratus ribu taman yang indah!

Keterasingan di Dunia
Mengapa hati begitu terasing dalam dua dunia?
Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang,
Kita lemparkan menjadi terbatasi ruang.

Inilah Cinta
Jalaluddin Rumi


Inilah cinta, membumbung ke langit
Setiap saat mengoyak seratus cadar
Mula-mula, mengingkari hidup
Akhirnya, melangkah tanpa kaki
Menganggap dunia ini tak tampak
Sepi semua yang muncul di benak
”O, jiwa,” kataku, ”Semoga kau berbahagia
Memasuki negeri orang-orang tercinta
Memandang daerah yang tak tercapai mata
Menyusup ke dalam lekuk liku dada!
Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa
Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?
Burung, bicaralah dengan bahasa burung
Kutahu artinya yang terselubung
Jiwaku pun menyahut, ”Aku berada di pabrik
Yang sedang mengolah air dan tanah liat
Aku pun melepaskan diri dari sana
Ketika sedang diciptakan
Waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereke menyeretku
Dan menuangku
Sehingga bagaikan bola bentukku.”
***
Puisi sufi, meminjam pernyataan penyair sufi Indonesia Sutardi Calzoum Bachri adalah perwujudan seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual dia selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya.
Tanpa dimensi spiritual, manusia takkan pernah bisa menyempurnakan kemanusiaannya. Ia hanyalah robot berdaging yang hidup di bumi dengan segala aktivitas bernilai relatif, yang dijalankannya dari hari ke hari sekedar menunggu atau menunda saat kematiannya.




Referensi:
1. Kasidah Cinta Jalaluddin Rumi, Yogyakarta: Tarawang, Maret 2000.
2. Jalaluddin Rumi Kisah Keajaiban Cinta, Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, Cetakan Kelima Oktober 2003.
3. Abdul Hadi WM, “Sastra Transedental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia“, makalah Simposium Festival Istiqlal Tahun 1991.
http://dwikisetiyawan.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar